Stop Komparasi Hidup Dengan Orang Lain

Gampang banget gak sih untuk iri? Apalagi dijaman serba terkoneksi dimana gak perlu denger gosip buat dapetin bahan bakar keirian. Tinggal bukan sosmed aja langsung nyamperin sendiri kok. Kenapa sih kita selalu tertarik dengan hal-hal seperti itu, dan kenapa kita harus mulai stop komparasi hidup sama orang lain?

Awal mula komparasi menurut saya

Hidup itu penuh komparasi ya, mulai dari komparasi yang frontal sampai komparasi yang sifatnya “humble bragging” atau pamer terselubung. Saya sendiri udah sadar perilaku pamer terselubung ini dari dulu dan gak kaget di sosmed makin menjadi-jadi.

Segala macem kepameran mau yang terselubung dan tidak terselubung ini membuat saya sendiri merasa banyak tekanan untuk mau tidak mau menjadi iri. Terlebih merasa bahwa semacam ada hirarki dalam kehidupan ini. Yang iri seakan-akan membuat status orang lain lebih tinggi.

Awalnya saya gak percaya sama “social hierarchy” ini. Tapi anehnya akhir-akhir ini saya banyak membaca sumber tentang philosophy dan psychology, dan ternyata social hierarchy ini memang hal yang sangat lumrah dalam kehidupan kita.

Di dalam satu buku karangan Jordan Peterson, diceritakan bahwa social hierarchy juga terjadi di kalangan lobster. Mahkluk hidup yang telah bertahan lebih dari ratusan tahun dan katanya sempat hidup bareng dinosaurus ini juga membanding-bandingkan diri sendiri dengan lobster lainnya. Siapa yang lebih kuat dia yang akan mendapat status lebih tinggi dan betina yang lebih cantik.

Ini membuat saya sangat berpikir, apakah ini satu-satunya hidup yang tersedia dalam kehidupan orang dewasa? Serem banget kalo iya.

Komparasi lagi dengan pemikiran orang lain

Saya mulai mencari beberapa alternatif pemikiran yang tersedia, mulai dari Buddhism, Stoicsm, bahkan sampai yang ngetren, Minimalism. Didalam beberapa paham tersebut saya menemukan satu benang merah, kita bisa melawan keinginan untuk tidak iri dan komparasi hidup sama orang lain.

Salah satu hal yang menurut saya menarik untuk ditelaah adalah ‘framing’. Kita punya tendensi untuk membandingkan orang lain berdasarkan value yang kita junjung. Dan seringkali value ini diangkat trigger juga untuk iri.

Beberapa value umum yang diangkat dalam masyarakat misalnya sisi materialistis, dan juga sisi percintaan. Menurut sebagian besar orang itu hidup bahagia kalau punya uang sangat banyak. Komparasinya ya muter-muter disitu aja, berapa gaji, berapa rumah yang dipunya, udah pangkat apa, punya bisnis apa, dan lain-lain.

Disisi lain, ada juga orang-orang yang menganggap hidup itu fulfill kalau segi percintaan udah kelar. Disini indikatornya juga banyak, udah punya pacar belum, udah nikah belum, udah punya anak belum, dan lain-lain.

Value hidup yang dijunjung selalu bisa jadi boomerang sendiri karena kalau framing pikiran kita keliru, kita selalu bisa menemukan celah seseorang. Lebih celaka jika value yang diusung cukup banyak.

Cara untuk stop komparasi

Salah satu dari banyak cara untuk tidak terjebak di lingkaran setan ini adalah “Re-framing”. Kita harus bisa mengendalikan pikiran kita agar tidak mendapatkan celah iri. Idenya adalah jika kita mampu merasa tidak enak karena framing pikiran kita, kita juga mampu merasa enak kembali dengan framing pikiran yang tepat.

Ambil contoh kasus semua orang yang bekerja, pertanyaan yang mungkin cukup sering ditanyakan adalah pertanyaan yang berkaitan dengan kompensasi. Terlebih jika kita tahu kompensasi yang kita dapat tidak cukup membanggakan. Sedih dong?

Dengan re-framing yang tepat, kita bisa tidak sedih. Kita bisa mengambil sisi positif yaitu kita punya waktu lebih leluasa dengan keluarga, atau kita punya banyak waktu untuk belajar investasi misalnya. Hal-hal seperti ini menghindarkan diri kita dari iri hati dan membuatnya menjadi tenaga.

Alasan untuk stop komparasi

Kadang kita sebetulnya tahu apa yang harus dilakukan supaya stop komparasi. Tetapi tidak menemukan alasan yang tepat untuk stop juga adalah alasan kita tidak bisa stop.

Ada alasan-alasan kenapa kita harus stop komparasi. Yang pertama, tidak ada yang namanya 100% sempurna. Semua hal mempunyai celah, bahkan artis pun punya kelemahan. Kita selalu ingin terlihat terbaik tetapi tidak ada 100% terbaik. It’s really okay untuk tidak terlihat terbaik karena mustahil menjadi terbaik.

Kedua, terkadang memang hidup tidak adil. Selalu ada kekurangan yang menjadi celah kita agar iri dengan orang lain. Apapun itu kita harus bisa menerima kekurangan kita. Dimana kita punya kekurangan, orang lain juga punya di aspek yang berbeda.

Ketiga, membanding-bandingkan itu akan menghambat mimpi kita. Seringkali yang kita butuhkan hanyalah bergerak ke arah yang tepat, tetapi macet ditengah-tengah karena kita komparasi lah, ragu lah, dan lain-lain. Waktu yang terbuang percuma karena komparasi juga hal yang percuma, harusnya bisa dipakai untuk hal yang lebih berguna.

Akhir kata saya ingin tutup tulisan ini. Selalu ada argumentasi bahwa iri hati dan komparasi itu bagus karena bisa memotivasi diri, memecut diri sendiri. Dan saya sangat setuju. Tetapi kita harus sepakat bahwa semua yang berlebihan itu tidak baik, komparasi berlebihan juga tidak baik karena kita bisa tidak termotivasi sama sekali.

If you like this post, you should consider joining my newsletter. You’ll get exclusive content for free and a bunch of bonus