2 Kata Untuk Semua Control Freak: Dikotomi Kendali
Oke judulnya kurang lebay, gak cuma control freak perlu tau ini, tapi semua orang. Semua orang punya naluri yang sama untuk mengendalikan semua hal yang mereka mau. Mulai dari hal yang simpel seperti mau makan apa hari ini, sampai ke pemilihan krusial seperti pasangan hidup. Gak mau dong diatur-atur sama orang lain.
Tetapi pengendalian ini terkadang membuat kita sendiri gampang stress. Contohnya udah persiapin acara segala macem, logistik dan lain-lain sudah oke, eh hujan. Atau buat yang pernah ujian, ada aja gak sih soal-soal ujian yang muncul antah berantah gak pernah diajarin dan tipenya essay. Nyebelin kan?
Selalu ada saja faktor-faktor yang diluar kendali dan membuat kita tidak bisa perfeksionis dengan pengendalian diri sendiri. Dan kebanyakan faktor itu datang dari eksternal. Terlalu banyak hal yang menjadi tidak pasti saat kita sudah dealing dengan eksternal, terutama jika sudah berhubungan dengan manusia.
Sedikit cerita, akhir-akhir ini saya sedang mempelajari konsep Stoisisme dan bagaimana kaum Stoa mempraktekkan filosofi hidup yang membuat kita lebih tenang. Ada konsep bernama “Dikotomi Kendali” yang bisa menjadi filosofi solusi untuk masalah diatas.
Dikotomi kendali secara simpel menjelaskan bahwa semua hal di dunia ini terbagi menjadi 2, yaitu hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Dan argumentasinya adalah kita hanya perlu memperhatikan hal-hal yang bisa kita kendalikan, untuk bisa bahagia.
Apa sih contoh hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan? Faktor-faktor eksternal seperti cuaca, kondisi jalan yang macet, perasaan klien, atau bahkan perasaan pacar sendiri. Dalam semua kasus, saya selalu clueless. Apakah saya tahu kondisi jalan yang macet? Mungkin iya jika saya membuka Google Maps, tetapi belum tentu saya tidak akan kesal dengan definisi tidak macetnya Google Maps.
Contoh hal-hal yang bisa kita kendalikan itu seperti perasaan diri sendiri, persepsi diri sendiri, basically semua hal yang kita bisa kendalikan dalam diri sendiri. Misalnya dalam kondisi jalan yang macet, kita sebetulnya bisa mengendalikan diri sendiri untuk tidak bete, asal kita sadar bahwa itu bisa dikendalikan.
Ada sebuah kisah nyata yang menarik dari penganut Stoisisme. Pada tahun 1965, saat perang Vietnam melawan US, seorang tahanan perang di Vietnam Utara bernama James Stockdale. Karena situasi perang yang cukup pelik dan huru hara yang panjang, Stockdale bersama 10 temannya ditahan selama 7.5 tahun. Waktu yang cukup panjang untuk mensiksa dirinya dan membuat dia separuh gila.
Dalam kisahnya, dia sudah menerima berbagai macam siksaan mulai dari pukulan, sampai patah tulang dan cidera fisik lainnya. Namun menariknya Stockdale masih waras dan menjaga kesadaran mentalnya. Dia menerapkan dikotomi kendali dan menganggap semua siksaan dan pukulan yang dia dapatkan adalah faktor yang tidak bisa dikendalikan. Namun yang masih bisa ia kendalikan adalah kesadaran diri sendiri, persepsi terhadap kehidupan, dan juga harapan yang tetap dijaga.
Dikotomi kendali bukan berarti pasrah dengan segala hal yang tidak bisa kita kendalikan, namun memaksimalkan semua hal yang bisa kita kendalikan dan tidak membebankan pikiran terhadap hal-hal yang diluar kendali. Banyak sekali pencapaian yang bisa kita lakukan jika kita tidak mendengarkan omongan orang lain (sesuatu yang sebetulnya diluar kendali kita).
Terakhir saya ingin tutup dengan sebuah kesimpulan Dikotomi Kendali adalah konsep yang sebetulnya tidak spesial datang dari Stosisme. Sebetulnya pesan-pesan orang tua kita juga sudah mempunyai makna yang sama. Kita harus percaya dengan diri sendiri, dan jangan terbawa arus.