Hidup kita dikendalikan media dan itu wajar
Bicara soal tren gak bakal ada habisnya. Ada masanya sebuah batu akik bisa berharga ratusan sampai milyaran rupiah, namun tahun depan menjadi batu jalanan biasa. Ada masanya sepeda tidak harus memakai rem tetapi aesthetic. Ada lagi jaman dimana ikan louhan menjadi primadona yang konon waktu itu menjadi raja ikan se-Indonesia.
Kalau saya boleh berasumsi satu hal yang konsisten dari semua tren yang terjadi adalah pengaruh media dalam semua hal itu. Semua yang viral selalu dimulai dari media-media yang meliput dan ada tanda-tanda bahwa hal tersebut akan nge-tren.
Konsumsi media kita meningkat
Setelah kita pulang kerja, hal yang pasti kita lihat adalah handphone. Entah itu berita, update media sosial dari teman-teman, atau chat dari seseorang. Namun patut disepakati bahwa kita punya banyak sekali kesempatan untuk melihat media. Tidak seperti dulu.
Masih ada jaman-jamannya jika kita sedang menunggu di klinik dokter dan yang bisa kita lakukan hanyalah membaca majalah jadul yang disediakan. Tidak ada hiburan lain. Atau saat dimana pertandingan olahraga hanya bisa disaksikan saat jam-jam tertentu yaitu tengah malam, tidak ada Youtube.
Patut disadari konsumsi media kita meningkat dengan sangat pesat. Sampai dititik dimana brand juga harus kerja ekstra dalam mempertahankan awareness mereka. Seni berkomunikasi jadi sangat penting, bahkan untuk industri yang sejatinya tidak membutuhkan.
Dikte media terhadap trend yang disukai orang
Olahraga adalah bidang yang menurut saya pribadi paling didikte oleh media. Turunnya pamor sebuah cabang olahraga dan naiknya sebuah cabang olahraga seringkali erat kaitannya dengan pengelolaan media yang dilakukan. Pada suatu media yang saya baca, ada yang mengatakan bahwa olahraga baseball di US pamornya menurun karena limitasi yang dilakukan oleh yayasan baseball utama disana dengan tujuan monetisasi. Namun karena yang dikejar tujuan jangka pendek, cabang olahraga lain menjadi meningkat tajam dari segi awareness.
Hal yang sama menurut saya terjadi di Indonesia. Patut kita sadari cabang olahraga bulutangkis adalah cabang olahraga pemersatu bangsa. Namun kita juga sebetulnya sadar, ingatan kita terhadap bulutangkis hanya terjadi saat ada turnamen besar yang ada Indonesianya. Namun untuk cabang olahraga sejuta umat lainnya, Sepakbola, penyebarannya sangat luas karena bukan hanya dari jangkauan orang menonton satu Indonesia, namun juga intensitas yang tinggi sehingga membuat kita tetap ingat.
Fenomena yang sama terjadi di e-sport. Saya tidak bicara tentang banyaknya orang yang ingin menjadi atlit e-sport, namun banyaknya orang yang ingin menonton orang bermain game. Walaupun terdengar sangat aneh pada awalnya, namun di era internet olahraga yang paling mudah dilihat adalah olahraga bermain game. Masuk akal kan?
Jika dipakai analogi yang sama, ini juga terjadi pada artis-artis. Banyak artis dulu yang sekarang digantikan artis baru. Patokannya sederhana, masuk line today dengan judul “Masih Ingat Dengan ….., Ini Nasibnya Sekarang”. Sebetulnya yang membedakan bukanlah talenta atau apapun karena hal tersebut debate-able. Saya sendiri lebih yakin bahwa media adalah faktor utamanya. Makanya banyak artis yang suka bikin kasus. Itu yang mempertahankan karir mereka.
Yang bisa kita lakukan perusahaan
Perusahaan tentu ingin bertahan, selayaknya artis dan cabang olahraga. Penting sekali untuk perusahaan eksis di era digital. Membeli iklan di tivi sebetulnya sangat cukup namun perusahaan juga harus sadar, banyak segment yang sudah tidak menonton tivi. Yang paling penting adalah terkadang untuk melakukan awareness jangka panjang, terkadang tidak ada korelasi terhadap penjualan.