Hidup Minimalis di Era Kepalsuan Jati Diri
Sudah jadi rutinitas saya memasuki bulan desember untuk menulis sesuatu di website ini. Membangkitkan lagi semangat untuk menulis yang sepertinya sudah mulai melayu. Serta merancang kembali mengenai apa yang ingin saya bawa melalui website ini.
Untuk kali ini saya ingin membawakan perspektif yang berbeda, tidak berkaitan dengan digital marketing lagi namun mengenai hal yang dekat dengan saya sekarang, gaya hidup. Menjadi seseorang yang seharusnya sudah melewati fase kuliah ke fase pencari uang independen, saya mulai menemui beberapa realita-realita hidup yang cukup menarik untuk ditelaah.
Sebagai orang yang bisa dibilang amatir dalam kehidupan orang dewasa, saya sering melihat sebuah jalan yang harus ditempuh para pengejar karir yaitu jalur Hedon YOLO. Dan ini terlihat seperti jalan yang paling bersinar di sosmed. Semua hal akan berbau barang-barang mewah, liburan yang mahal, dan makanan-makanan cantik yang tiap minggu selalu ada menu baru nya selalu berhasil menciptakan sifat iri dari diri saya. Dan semua hal ini terkadang terlalu silau dan membuat saya bertanya, apakah ini jalan yang ingin saya tempuh?
Kontradiksi ini datang dari diri sendiri dimana saya jarang sekali punya barang mewah, mungkin barang paling mewah yang saya punya adalah laptop saya untuk mengetik. Saya jarang sekali liburan karena saya lebih suka mengejar mimpi saya, dan saya bahagia dengan makanan yang murah. Terdengar membosankan dan saya sendiri gelisah mengenai eksistensi saya yang bisa dibilang berbeda dengan tuntutan masyarakat sosial media.
Sampai suatu ketika saya menemukan sebuah gaya hidup baru yang namanya terlihat keren abis, Minimalism di sebuah video youtube. Tertarik untuk memutar video tersebut karena dalam bayangan saya ini akan menjadi gaya hidup yang serba putih, bersih, dan gaya banget lah.
Banyak hal yang membuat saya bisa relate dengan keresahan yang dialami Matt. Saya merasa dalam tekanan struktur masyarakat yang menuntut kita untuk memiliki sesuatu yang belum tentu akan berguna. Gaya hidup yang makin distimulasi oleh sosial media yang menjadi ajang pamer membuat kita menjadi seakan-akan tidak bisa menentukan apa yang penting untuk hidup kita.
Dalam hal ini saya tidak mengatakan bahwa kita tidak boleh membeli barang mewah, tapi kita lebih sadar dengan apa yang kita beli dan memastikan sesuatu yang kita miliki memang akan kita gunakan. Ada satu kutipan dalam sebuah blog yang membahas minimalism yang sangat saya suka yaitu,
We tend to give too much meaning to our things, often forsaking our health, our relationships, our passions, our personal growth, and our desire to contribute beyond ourselves. – The Minimalists
Dalam hal ini, hidup minimalis adalah pandangan yang sangat filosofis dan mempunyai banyak versi. Ada versi yang sangat ekstrim dimana minimalism adalah hanya memiliki 100 barang, kalau bisa kurang. Dengan argumen bahwa kita akan lebih nyaman dengan memiliki lebih sedikit barang. Atau tinggal di goa..
Ada juga versi lain dimana minimalism adalah gaya hidup yang bisa tetap boros tetapi disaat yang bersamaan memang kita butuhkan. Contohnya jika kita ingin membeli rumah dan kita merasa bahwa rumah akan membuat kita lebih nyaman. Go ahead!
Versi minimalism akan selalu berbeda antara satu orang dan yang lainnya. Persepsi minimalism ibu-ibu yang punya anak kecil mungkin akan sedikit lebih lebar dibanding anak umur 20 tahun. Atau mungkin juga bisa sangat mirip, tergantung dari value yang mereka bawa ke hidup.
Minimalism versi saya sendiri sangat sederhana, saya berusaha untuk tidak membeli barang yang saya sudah punyai dan tidak mendapat benefit lain dalam mempunyai barang tambahan tersebut.
Selain itu saya selalu berusaha untuk melepaskan barang yang tidak saya pakai ke orang yang lebih membutuhkan. Kepemilikan terhadap baju adalah salah satu hal yang saya jadikan eksperimen dalam memulai minimalism. Saya mencoba untuk membongkar lemari dan sortir mana baju yang sudah tidak saya pakai lebih dari 1 tahun.
Hasilnya saya menjadi lebih tidak stress dengan barang yang saya miliki dan merasa attachment terhadap suatu benda berkurang. Saya selalu merasa saya bisa hidup dengan barang yang sangat minimal. Dan saya merasa tidak membutuhkan hal-hal mewah untuk membuat saya lebih bahagia. Kebahagiaan justru saya temukan dari aktivitas lain yang menurut saya pribadi lebih melegakan pikiran.