[*Klik link ini untuk membaca email di browser*](https://williamjakfar.com/kenapa-bisnis-butuh-seo-dan-email-marketing/)

Sepanjang perjalanan saya coba membuat konten, platform datang silih berganti. Ada platform baru yang naik, dan platform lama yang hilang. Saya mulai membuat blog tahun 2015, kala itu mungkin baru mulai jaman keemasan Instagram. Flash forward ke sekarang, Instagram mencoba kembali menyegarkan diri dengan menjadi platform entertainment (a.k.a ngikutin TikTok).

Berkaca dalam pengalaman saya sendiri mencoba platform dan secara profesional bekerja di industri digital marketing, platform memang ada trendnya. Sifat ini wajar karena mengikuti kebutuhan jaman. Mari kita intip trend social media berdasarkan trend pencarian kata kunci Google.

![](https://williamjakfar.com/wp-content/uploads/2021/07/Screen-Shot-2021-07-04-at-22.09.26-1024x541.png)
Source: Google Trends.
Disclaimer: Saya bekerja di salah satu platform digital yang di-mention disini. Tulisan ini bersifat opini pribadi saya dan bukan pernyataan resmi dari perusahaan.

Data dari Google Trends diatas menunjukkan pergerakan social media selama 5 tahun terakhir. Bisa dilihat posisi naik, turun, dan stabil dari beberapa platform. Facebook terlihat mengalami penurunan, sedangkan TikTok terlihat mulai mengambil posisi dari tahun 2020 sampai sekarang.

Hal seperti ini pun dirasakan oleh saya sebagai bagian dari pergerakan industri. Pada tahun 2016, klien-klien masih sangat perduli dengan follower Facebook, namun perilakunya mungkin sudah sedikit berubah dan merambah ke channel alternative yang lebih kekinian.

Owned Media yang Keliru

Kalau Anda pernah bertemu digital agency atau belajar digital marketing, pasti pernah berkenalan dengan konsep ini:

![Owned digital media definition - What is? | Digital marketing Glossary](https://www.davechaffey.com/wp-content/uploads/2019/09/paid-vs-owned-vs-earned-media.png)
Source: https://www.davechaffey.com/digital-marketing-glossary/owned-digital-media/

Basically, saluran digital dibagi menjadi 3 yaitu owned media, paid media, dan earned media. Konsep ini mengatakan kalau untuk mengembangkan brand di digital, Anda harus menyeimbangkan komposisi antara penggunaan paid media, membayar earned media, dan memiliki owned media.

Konsep yang kurang relevan sekarang adalah owned media dimana hampir semua brand yang memiliki social media tahu kalau me-maintain social media itu tidak gratis. Owned media berarti Anda memilki media tersebut tetapi pada kenyataannya Anda menyewa media tersebut. Contohnya di Instagram dulu organicnya masih bagus banget walaupun gak pake iklan, cukup spamming hashtag. Sekarang boro-boro, mungkin harus siapin budget buat boost post.

Nature social media adalah entitas media juga yang mencari uang dari iklan. Wajar sekali mereka ujung-ujungnya shifting dan meminta brand yang memiliki eksistensi disana untuk jadi customer. Toh pake social media gratis, bukan?

Owned Media Sesungguhnya

Dalam pengalaman saya, ada beberapa owned media yang benar-benar stabil memberikan exposure ke bisnis. Stabil disini karena memang dasarnya pengelola media tersebut antara open source, atau memang butuh media tersebut tetap organic. Kriteria owned media sesungguhnya saya lihat dari beberapa aspek yaitu:

  • Motivasi dari pemilik platform
  • Seberapa sering algoritma platform mengalami perbaruan
  • Pengalaman industri selama ini

Saya sendiri baru menemukan 3 media yang cukup stabil, yaitu:

  • Google/SEO
    • Model bisnis Google adalah mesin pencari paling kredibel di bumi. Google search memiliki motivasi untuk menyediakan informasi sebenar-benarnya tanpa ada unsur “siapa yang bayar paling mahal”. Dalam praktek tentu Google sering melakukan update algoritma SEO untuk membuat hasil pencarian lebih relevan dengan audiens. Tapi jika Anda telah menguasai keyword tertentu di SEO, jarang kemungkinan ranking Anda turun asal informasinya memang terbaik di kategori itu. Google dan Anda punya motivasi yang sama untuk mempertahankan exposure bisnis Anda.
  • Email Marketing
    • Email dianggap stabil oleh kebanyakan brand karena alasan yang sangat simpel. Tidak ada yang menguasai teknologi email. Anda bisa punya 10,000 subscriber dan tetap mengirimkan email kepada mereka semua, asal mereka mau membuka email Anda. Tidak ada barrier yang menghalangi Anda, update algoritma yang mengkurasi konten, maupun paywall untuk mengakses subscriber Anda. Anda mungkin hanya perlu membayar mail server atau email marketing services.
  • Twitter
    • Twitter menjadi salah satu dari sekian banyak social media yang belum berhasil dengan model bisnis iklannya. Akun dengan following cukup besar di Twitter biasanya tetap bisa mendapatkan engagement rate yang stabil. Namun patut dipahami karena Twitter adalah social media, maka gaya tweet Anda pun perlu menyesuaikan jaman, dan Anda perlu menggunakan strategi akuisisi konten yang kreatif. Namun Anda tidak perlu beriklan.

Praktek Attack & Defense

OK, saya bahas bagaimana cara saya bereksperiment ke konten diri sendiri ya. Konsep yang sedang saya jalankan adalah konsep attack dan defense dalam memilih platform digital. Kenapa attack dan defense?

Attack dalam hal mencari audiens secara aktif. Dalam konteks ini saya menggunakan Instagram karena saya punya basis following dan bisa membuat konten infografis yang menarik. Selain itu fitur Instagram bisa memudahkan saya ditemukan oleh orang lain. Saya tentu menggunakan iklan untuk meningkatkan jangkauan akun saya.

Defense dalam hal mempertahankan audiens tersebut. Instagram tidak bisa mempertahankan audiens karena walaupun Anda punya 100,000 followers, Anda tidak bisa tahu siapa mereka dan kenapa mereka follow Anda. Audiens itu ada, tapi tak ada. Posisi defense diisi oleh email, dimana saya bisa memastikan jalur komunikasi antar audiens saya (Anda), dan saya hanya tinggal sekali email saja. Sangat bisa diandalkan.

Dalam posisi defense, sebelumnya saya menggunakan banyak approach dan persona. Sebelumnya saya menggunakan Asoca, lalu diri sendiri. Dan akhirnya sekarang kembali ke blog original saya dengan alasan yang sederhana, karena saya mau mengoptimasi search engine untuk blog ini.

Rise and Fall of Digital Platform

Untuk teman-teman yang punya bisnis atau bisnisnya adalah menjadi content creator, sudah terlalu banyak bisnis yang tergantung pada satu platform dan merosot sepanjang tahun. Saat tahun 2015, saya mengandalkan LINE@ Official untuk berbisnis, followers udah 450ribu, namun platform tersebut runtuh bersamaan dengan bisnis saya. Risiko terlalu besar jika kita mengandalkan satu platform.

Namun platform yang Anda andalkan jangan semuanya mode serang/akuisisi. Harus ada platform yang naturenya bertahan, rekoneksi dengan audiens, mempertahankan retention. Seimbang kiri dan kanan. Jadi mau naik dan turunnya platform, Anda tetap bisa memanuver marketing dengan membawa brand equity dari platform sebelah.

--- OK, segitu dulu sharing kali ini. Sekarang giliran Anda. Sebarkan email ini ke 1-2 temanmu yang tertarik dengan konten seperti ini atau susbcribe di [williamjakfar.com](http://williamjakfar.com). Sebaran Anda membantu perkembangan situs ini. Terakhir, saya minta tolong ambil 2 detik saja untuk reply email ini jika Anda suka dengan edisi kali ini: - A+ = gila topiknya bagus banget! - B = ya lumayan.. - C = meh.. - D or F = gak suka banget! Let me know your feedback! Stay safe, William Jakfar